( tugas ISD BAB V-VII )
BAB V. Warga Negara dan Negara
Nama : SARDI IRFANSYAH
KELAS : 1IB03
NPM : 16412848
BAB V. Warga Negara dan Negara
Pemerintah Diminta Tak Tumbalkan Buruh Demi Investasi
Wahyudi Siregar - Okezone
Senin, 12 November 2012 19:31 wib
MEDAN
– Presidium
Majelis Pekerja Buruh Indonesia Sumatera, Minggu Saragih menilai, upaya
pemerintah mempertahankan upah murah di Indonesia sebagai bentuk penumbalan
buruh dan pekerja demi tercapainya program pemerintah menarik investasi ke
dalam negeri. Namun dengan orientasi seperti itu, pemerintah sejatinya gagal
mewujudkan kesejahteraan.
Menurut
Minggu, di tengah krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS), pasar
Asia kini telah menjadi primadona. Investor berbondong-bondong masuk ke dalam
negeri untuk menggarap pasar lokal yang memiliki tingkat konsumsi tinggi.
Apalagi ketersediaan bahan baku yang cukup untuk mendukung industri, akan
semakin membuat pasar menggeliat. Namun faktanya, Indonesia masih harus
bersaing dengan India dan China yang juga memiliki potensi pasar yang besar.
Sehingga pemerintah dinilai terpaksa menerapkan upah murah untuk menarik
investor.
“Pemerintah kan ingin populer dengan pemberitaan makro ekonomi yang baik. Seperti angka pengangguran menurun, nilai investasi tinggi. Tapi sebenarnya, kualitas dari pencapaian itu juga penting. Karena kalau enggak yang ada justru ketimpangan. Jangan kami teruslah yang ditumbalkan. Ketidaksiapan pemerintah bersaing dari sisi penyediaan prasarana, diwujudkan dengan penawaran upah murah untuk menarik investasi. Karena faktanya, India dan China saat ini upahnya lebih tinggi, namun siap secara infrastruktur,” jelasnya, Senin (12/11/2012).
Minggu mengaku, buruh cukup mengapresiasi upaya pemerintah pusat melalui kementerian tenaga kerja, untuk menaikkan upah secara signifikan. Namun apresiasi terhadap pemerintah itu terpaksa dipatahkan karena sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, pemerintah provinsi justru mengabaikannya. Dia mengingatkan, agar pemerintah berhenti mengorbankan parah buruh yang sudah terlalu lama dipojokkan dengan upah murah.
“Pemerintah kan ingin populer dengan pemberitaan makro ekonomi yang baik. Seperti angka pengangguran menurun, nilai investasi tinggi. Tapi sebenarnya, kualitas dari pencapaian itu juga penting. Karena kalau enggak yang ada justru ketimpangan. Jangan kami teruslah yang ditumbalkan. Ketidaksiapan pemerintah bersaing dari sisi penyediaan prasarana, diwujudkan dengan penawaran upah murah untuk menarik investasi. Karena faktanya, India dan China saat ini upahnya lebih tinggi, namun siap secara infrastruktur,” jelasnya, Senin (12/11/2012).
Minggu mengaku, buruh cukup mengapresiasi upaya pemerintah pusat melalui kementerian tenaga kerja, untuk menaikkan upah secara signifikan. Namun apresiasi terhadap pemerintah itu terpaksa dipatahkan karena sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, pemerintah provinsi justru mengabaikannya. Dia mengingatkan, agar pemerintah berhenti mengorbankan parah buruh yang sudah terlalu lama dipojokkan dengan upah murah.
“Kita
heran kenapa pemerintah provinsi pun seperti bersikeras mempertahankan
ketetapan upah yang diajukan dewan pengupahan. Padahal pemerintah pusat sudah
meminta agar dilakukan peningkatan upah yang signifikan. Plt gubernur harusnya
tanggap, jangan hanya mendengarkan elit yang telah melakukan permufakatan jahat
untuk memiskinkan buruh, suara buruh pada realitasnya menolak nilai tersebut.
Plt gubernur harus ingat, Maret nanti pilkada," tegasnya.
Untuk menyuarakan peningkatan kesejahteraan buruh ini, besok (13/11/2012) rencananya sekitar 10 ribu buruh akan turun ke jalan dan mendatangi kantor pemprov sumut untuk mendesak dilakukannya revisi terhadap penetapan UMP. Buruh pun mengancam akan mengepung sejumlah objek vital untuk melumpuhkan perekonomian, jika tuntan mereka tidak dipenuhi. (widi) .
Untuk menyuarakan peningkatan kesejahteraan buruh ini, besok (13/11/2012) rencananya sekitar 10 ribu buruh akan turun ke jalan dan mendatangi kantor pemprov sumut untuk mendesak dilakukannya revisi terhadap penetapan UMP. Buruh pun mengancam akan mengepung sejumlah objek vital untuk melumpuhkan perekonomian, jika tuntan mereka tidak dipenuhi. (widi) .
Review atau
ulasannya :
Dari artikel di atas yang menjelaskan tetang upaya
pemerintah mempertahankan upah murah di Indonesia sebagai bentuk penumbalan
buruh dan pekerja demi tercapainya program pemerintah menarik investasi ke
dalam negeri. Pemerintah yang dianggap menumbalkan buruh demi investasi, hal
tersebut dikarenakan indonesia harus bersaing dengan negara china dan india
yang memiliki potensi pasar yang besar dalam menarik investor, Sehingga
pemerintah dinilai terpaksa menerapkan upah murah untuk menarik investor.
(menurut Minggu)
Ketidaksiapan
pemerintah bersaing dari sisi penyediaan prasarana, diwujudkan dengan penawaran
upah murah untuk menarik investasi. Karena faktanya, India dan China saat ini
upahnya lebih tinggi, namun siap secara infrastruktur.
Apresiasi
yang dilakukan oleh buruh justru diabaikan oleh pemerintah provinsi, oleh sebab
itu, untuk menyuarakan peningkatan kesejahteraan buruh, para buruh berencana
akan turun ke jalan dan mendatangi kantor pemprov sumut untuk mendesak
dilakukannya revisi terhadap penetapan UMP.
TANGGAPAN :
Seharusnya pemerintah tidak
menumbalkan buruh demi invesitasi, pemerintah justru seharusnya memperbaiki
saran dan prasarana dalam infrastruktur untuk menarik investor asing agar
berinvestasi di dalam negeri kita.
KESIMPULAN :
Upaya pemerintah mempertahankan upah murah di
Indonesia sebagai bentuk penumbalan buruh dan pekerja demi tercapainya program
pemerintah menarik investasi ke dalam negeri yang justru mengakibatkan gagalnya
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan buruh, sehingga para buruh pun
melakukan protes atau demo untuk menaikan upah buruh.
BAB
VI. Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
Siapa Kelas Menengah Indonesia?
Jumat, 8
Juni 2012 | 13:00 WIB
Oleh: BAMBANG SETIAWAN
KOMPAS.com-
Mendefinisikan kelas sosial ibarat mencari mozaik dan menebalkan garisnya di
atas kehidupan masyarakat. Bagaimana mengelompokkan masyarakat, dan apa
kepentingan di balik upaya memetakan stratifikasi itu?
Upaya pengelompokan strata sosial
setidaknya terkait dengan tiga kepentingan. Pertama, kelas sebagai agregat
politik. Perbedaan dalam pandangan ataupun sikap politik seseorang dipengaruhi
oleh posisinya dalam strata sosial. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik
kelas dengan jumlah anggota terbesar adalah penting untuk menentukan strategi
kampanye apa yang paling cocok dilakukan oleh kandidat calon pemimpin. Kelas
terbesar juga menjadi perhatian utama ketika dikaitkan dengan perubahan sosial.
Kedua, berkaitan dengan segmentasi
pasar. Sejak produksi barang-barang penunjang gaya hidup semakin banyak
diciptakan, mengetahui karakteristik tiap kelas menjadi penting agar penetrasi
pasar lebih efektif. Segmentasi terhadap penonton televisi, misalnya, akan
membantu industri televisi menentukan jenis program apa yang cocok dengan
karakter penontonnya.
Pemetaan
terhadap daya beli kelas menengah atau atas akan berguna untuk menentukan
seberapa besar pasokan barang-barang mewah dapat terserap ke dalam pasar. Dalam
dimensi pasar, kelas menengah ke atas menjadi perhatian serius karena menjadi
potensi besar pasar komoditas gaya hidup.
Ketiga, berhubungan dengan persoalan
kesejahteraan, yang urusannya kerap dikaitkan dengan kinerja pemerintahan.
Dalam dimensi ini, yang paling penting adalah memperoleh informasi tentang
kelas miskin, yaitu mengetahui seberapa besar jumlah orang miskin dan rawan
miskin yang layak mendapat bantuan. Oleh karena itu, kelas miskin menjadi
sorotan utama daripada kelas-kelas lain.
Upaya pengelompokan kelas sosial
sejak awal sudah menjadi persoalan teoretis dan metodologis yang penuh
perdebatan. Dari sisi metodologis, pertanyaan substansial muncul terkait
definisi kelas: apakah kelas dibentuk secara subyektif ataukah obyektif? Jika
kelas dibentuk secara subyektif, artinya definisi kelas seseorang tergantung
pada pengakuan.
Meskipun model ini cukup baik karena
di sana ada kesadaran kelas, kerap kali ia juga memiliki kelemahan mendasar karena
umumnya kelas menengah ke atas tidak mau menempatkan dirinya lebih tinggi
daripada kelas menengah.
Jika pengelompokan dilakukan secara
obyektif, apakah yang menjadi ukurannya? Apakah parameter ditentukan oleh
seorang peneliti ataukah lewat kerja mesin yang dapat meminimalkan
subyektivitas peneliti? Jika ditentukan peneliti, seberapa jauhkah obyektivitas
dapat dijaga? Jika dilakukan oleh sebuah alat pemrograman, mampukah
menghasilkan pemilahan yang memuaskan?
Kriteria
penggolongan
Karl Marx (1867) menggolongkan
masyarakat ke dalam dua kelas: majikan/borjuis yang menguasai alat produksi,
keuangan, lahan, dan teknologi produksi serta buruh/proletar yang menjual
tenaganya untuk mendapatkan upah. Sebagai alat ideologi, dikotomi Marx
berpengaruh sangat besar terhadap upaya-upaya perjuangan kelas.
Namun, penjelasan dialektika oposisi
ini belum cukup memuaskan untuk melihat realitas. Pertanyaannya, di manakah
letak kaum profesional yang berada di antara kepentingan buruh dan majikan
berada?
Max Weber (1920) mengelaborasi kelas
sosial dengan lebih luas ketika memandang persoalan kelas bukan hanya bagaimana
kekuasaan (power) atas alat produksi terletak, tetapi juga menyangkut
derajat ekonomi dan prestise. Tiga hal itu menjadi penentu untuk mengukur
derajat kelas seseorang.
Seseorang bisa saja berpenghasilan
besar dan memiliki usaha dengan karyawan banyak. Namun, karena pendidikannya
rendah, ia belum tentu masuk ke kelas atas. Sebaliknya, penyair atau sastrawan
bisa masuk kelas menengah karena derajat pengetahuannya, meskipun ekonominya
morat-marit dan tidak menguasai alat produksi kapitalistik.
Ibu rumah
tangga yang hanya mengurus keluarga bisa masuk ke kelas menengah atas karena
status pendidikannya tinggi dan punya suami kaya.
Kini, pemetaan sudah lebih terukur
dengan berkembangnya berbagai metode untuk mengklasifikasikan kelas sosial. W
Lloyd Warner, ahli antropologi dan sosiologi dari Universitas Chicago, Amerika
Serikat, pada tahun 1949 memublikasikan acuan prosedur untuk pengukuran status
sosial. Ia menggunakan ukuran derajat pekerjaan, pendapatan, kualitas rumah,
dan area tempat tinggal.
Berikutnya, klasifikasi AB
Hollingshead (1971) lebih sederhana, dengan hanya menggunakan ukuran pekerjaan
dan pendidikan untuk membentuk stratifikasi kelas atas, menengah atas,
menengah, menengah bawah, dan bawah.
Selanjutnya, analisis yang
dikembangkan John Goldthorpe mungkin paling luas dipergunakan dalam berbagai
penelitian, termasuk penelitian komparasi kelas menengah di Asia Tenggara yang
melibatkan sejumlah lembaga penelitian di Indonesia, Filipina, Thailand, dan
Malaysia pada tahun 1996-1997. Ia mendasarkan pemilahan sosial atas dasar
pekerjaan dengan membaginya ke dalam 11 strata untuk membentuk tiga kelompok
besar, yaitu kelas atas, menengah, dan pekerja.
Penelitian Litbang Kompas terbaru
yang dilakukan pada Maret-April 2012 pada dasarnya merupakan gabungan antara
dasar-dasar pengelompokan yang dipergunakan Goldthorpe dan memadukannya dengan
ukuran yang dilakukan Biro Sensus Amerika Serikat yang mengadopsi model
Weberian, yaitu membuat stratifikasi sosial berdasarkan pekerjaan, pendapatan,
dan pendidikan.
Namun, Litbang Kompas melakukan
modifikasi dengan menggunakan ukuran pengeluaran daripada menggunakan ukuran
pendapatan (income). Ukuran yang kemudian menjadi dasar pengelompokan
adalah pekerjaan, pendidikan, pengeluaran pribadi per bulan, dan pengeluaran
keluarga untuk membayar listrik per bulan.
Kriteria penggolongan pengeluaran
yang digunakan mengikuti standar kategorisasi Bank Dunia. Pengeluaran per hari
di bawah 2 dollar AS dalam penelitian ini digolongkan sebagai kelas miskin atau
sangat bawah, 2-4 dollar AS kelas bawah, 4-10 dollar AS kelas menengah, 10-20
dollar AS mencerminkan kelas menengah atas, dan di atas 20 dollar AS mewakili
kelas atas.
Nilai dollar
yang dipakai adalah dollar yang dikonversi dengan mempertimbangkan keseimbangan
kemampuan berbelanja (purchasing power parity/PPP). Dengan memakai
dollar PPP, kelas miskin di Indonesia adalah golongan masyarakat yang
membelanjakan uang sekitar Rp 12.500 ke bawah per hari atau sekitar Rp 375.000
per bulan.
Meski demikian, nilai pengeluaran
bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan kelas. Kelas seseorang ditentukan
oleh skor akhir yang merupakan skor rata-rata dari pembobotan atas pengeluaran
(pribadi dan pengeluaran listrik keluarga), pendidikan, dan okupasi.
Survei
Litbang Kompas dilakukan terhadap 2.550 responden yang tersebar di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Responden adalah
penduduk berumur 17 tahun ke atas yang diambil dengan metode penarikan
multistage random sampling. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, kesalahan
pencuplikan berkisar 1,9 persen.(Litbang Kompas)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Marcus
Suprihadi
Referensi : http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/13003111/Siapa.Kelas.Menengah.Indonesia
Review atau
ulasannya :
Artikel
di atas menjelaskan tetang upaya pengelompokan kelas strata sosial yang terkait
dengan tiga kepentingan yaitu kelas sebagai agregat politik, berkaitan dengan
segmentasi pasar dan berhubungan dengan persoalan kesejahteraan.
Seseorang bisa saja berpenghasilan
besar dan memiliki usaha dengan karyawan banyak. Namun, karena pendidikannya
rendah, ia belum tentu masuk ke kelas atas. Sebaliknya, penyair atau sastrawan
bisa masuk kelas menengah karena derajat pengetahuannya, meskipun ekonominya
morat-marit dan tidak menguasai alat produksi kapitalistik.
Kriteria penggolongan pengeluaran
yang digunakan mengikuti standar kategorisasi Bank Dunia. Pengeluaran per hari
di bawah 2 dollar AS dalam penelitian ini digolongkan sebagai kelas miskin atau
sangat bawah, 2-4 dollar AS kelas bawah, 4-10 dollar AS kelas menengah, 10-20
dollar AS mencerminkan kelas menengah atas, dan di atas 20 dollar AS mewakili
kelas atas. ( menurut litbang kompas).
Tanggapan :
Dalam
penggolongan kelas strata sosial, untuk mencari yang termasuk kelas menengah di
indosia, sebaiknya harus memperhatikan berbagai hal, seperti pendidikannya,
penghasilannya atau pengeluarannya, pekerjaannya dan lain-lain,. Jangan hanya
sekedar melihat dari penampilannya saja
Kesimpulan:
Yang
termasuk kelas menengah dapat dilihat dari pendidikannya yang biasa saja
walaupun memiliki suami yang kaya, penghasilannya yang biasa saja,
pengeluarannya yang biasa saja, pekerjaannya yang biasa saja dan lain-lain.
BAB VII. Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
Arus Urbanisasi ke Jakarta Semakin
Berkurang
Penulis :
Kurnia Sari Aziza | Senin, 13 Agustus 2012 | 14:30 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
mengatakan bahwa arus urbanisasi ke Jakarta dari tahun ke tahun semakin
berkurang. Pengurangan ini disebutnya karena berkembangnya pembangunan di
daerah-daerah asal migrasi.
"Saya
mencatat arus urbanisasi dari tahun ke tahun berkurang. Hal ini antara lain disebabkan dengan bertumbuh kembangnya
pembangunan di daerah-daerah asal migrasi masuk tersebut," kata pria yang
akrab disapa Foke ini.
Hal
itu disampaikannya saat memimpin Apel Siaga Arus Mudik dan Arus Balik Idul
Fitri 1433 H, di Lapangan IRTI, Jakarta, Senin (13/8/2012).
Menurutnya,
dengan semakin baiknya infrastruktur dan banyaknya proyek pembangunan di
kampung asal para calon pendatang, membuat mereka betah di kampung halaman.
"Sehingga
mereka tidak mudah tertarik untuk pindah ke Jakarta atau mengadu nasib di
Jakarta," kata Foke.
Mendukung
pernyataan Foke, Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea menambahkan,
masalah urbanisasi merupakan masalah tahunan yang selalu dihadapi paska
Lebaran. Biasanya pemudik yang kembali ke Ibukota membawa saudara atau kerabat
keluarga yang ingin mengadu nasib di Jakarta.
"Karena
ini masalah tahunan, maka setiap tahunnya kami terus berupaya untuk menurunkan
angka urbanisasi di Jakarta yang selalu terjadi paska Lebaran," kata
Purba.
Purba
pun memaparkan hasil pendataan arus mudik dan arus balik dari tahun 2003 hingga
2011. Menurutnya, terjadi tren penurunan jumlah pendatang baru di DKI Jakarta,
dengan rincian lima tahun terakhir ini.
Pendatang baru tahun 2007 berkurang
14.810 jiwa atau 11,90 persen dibandingkan tahun 2006. Lalu jumlah pendatang
baru di tahun 2008 berkurang 21.144 jiwa atau 19,29 persen dibandingkan 2007.
Sementara
pada tahun 2009 berkurang 18.919 jiwa atau 21,38 persen dibandingkan 2008.
Penurunan juga terjadi pada 2010. Jumlah pendatang baru berkurang 10.339 atau
14,86 persen dari 2009. Dan 2011 jumlah pendatang baru kembali berkurang
sebanyak 7.340 jiwa atau 12,40 persen dibandingkan 2010.
"Diprediksikan
jumlah pendatang baru paska Lebaran tahun 2012 akan menurun sebanyak 22.368
jiwa atau menurun sebanyak 37,77 persen," terangnya.
Menurut
dia, salah satu contoh dari penurunan tingkat urbanisasi yang datang ke Jakarta
adalah semakin sulitnya mencari pembantu rumah tangga.
"Misalnya
mencari pembantu di Jakarta semakin susah. Saat ini, mereka sudah tersaring di
Cikarang, Tangerang, dan Bogor yg merupakan kawasan industri," pungkas
Purba.
Referensi :http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/13/14303123/Arus.Urbanisasi.ke.Jakarta.Semakin.Berkurang
Review atau ulasan :
Arus
urbanisasi ke Jakarta dari tahun ke tahun semakin berkurang. Pengurangan ini
disebutnya karena berkembangnya pembangunan di daerah-daerah asal migrasi. Semakin baiknya infrastruktur
dan banyaknya proyek pembangunan di kampung asal para calon pendatang, membuat
mereka betah di kampung halaman. Sehingga mereka tidak mudah tertarik untuk
pindah ke Jakarta atau mengadu nasib di Jakarta. (menurut fauzi bowo)
Setiap
tahun, mulai dari tahun 2007-2012 terjadi penurunan pendatang baru. Menurut
purba salah satu
contoh dari penurunan tingkat urbanisasi yang datang ke Jakarta adalah semakin
sulitnya mencari pembantu rumah tangga.
Tanggapan :
Kita harus mendukun pemerintah dalam
pembangunan daerah-daerah asal migrasi, agar mengurangi arus urbanisasi ke
Jakarta.
Kesimpulan :
Dengan berkembangnya
pembangunan di daerah-daerah asal
migrasi dan juga semakin baiknya
infrastruktur dan banyaknya proyek pembangunan di kampung asal para calon
pendatang, hal ini dapat mengakibatkan
para calon pendatang betah terhadap daerah asalnya sendiri, sehingga dapat
mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta.
No comments:
Post a Comment